:::: MENU ::::
  • Gerbang masuk Desa Penglipuran

  • Foto bersama penduduk Desa Penglipuran

  • Wawancara dengan penduduk Desa Penglipuran

Wednesday, July 20, 2016



          Desa Penglipuran merupakan salah satu desa adat yang telah berkembang menjadi desa wisata yang sangat ramai dikunjungi para wisatawan, lokal maupun mancanegara. Bahkan, pada awal penetapannya desa ini sebagai desa wisata, turis asing-lah yang sering memadati desa yang terletak di Bangli ini.

        Awalnya, desa ini hanyalah sebuah desa yang ingin mempertahankan kebudayaan nenek moyang, leluhur. Tapi pada sekitar tahun 1990, mahasiswa Udayana melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dengan meninggalkan jejak berupa pembangunan taman-taman kecil dan penataan lingkungan, yang kemudian pada tahun 1991/1992 ada beberapa wisatawan yang mengunjungi desa ini. Sementara, Dinas Pariwisata Daerah belum mengeluarkan kebijakan apapun atau sumbangsih untuk mengelola kawasan ini. Barulah dari sini sesepuh dan para pemuda bersama perwakilan dari pemerintah daerah dan kota bermusyawarah untuk mengembangkan potensi pariwisata yang ada di Desa Adat Penglipuran. Dan akhirnya pada tahun 1993, desa adat ini ditetapkan sebagai Desa Wisata Penglipuran dengan Surat Keputusan (SK) Bupati No.115 tanggal 29 April 1993.

          Di awal peresmiannya sebagai desa wisata, Penglipuran mendapatkan penghargaan Kalpataru. Sebab, masyarakat setempat dianggap mampu menyelamatkan lingkungan. Mereka mampu mempertahankan dan memelihara 75 hektar hutan bambu dan 10 hektar vegetasi lainnya yang menjadi ciri khas desanya. Selain itu, masyarakat di desa ini juga mampu mempertahankan adat budaya para leluhur dan juga tata kota serta bangunan tradisionalnya. Hal inilah yang membuat Penglipuran diganjar dengan Kalpataru pada tahun 1995.

       Penghargaan terbaru yang disabet berasal dari TripAdvisor berupa The Travellers Choice Destination 2016. Meski sebenarnya penghargaan ini dijatuhkan pada Pulau Dewata sebagai pulau kedua terbaik setelah Kepulauan Galapagos di Ekuador, nama Desa Wisata Pengliburan pun kerap diperbincangkan. Hingga akhirnya, desa ini dinobatkan sebagai desa terbersih di dunia bersama desa Desa Terapung Giethoorn di Provinsi Overijssel Belanda, dan Desa Mawlynnong yang ada di India.


Serba Serbi Desa Penglipuran dari Tata Ruang hingga Populasi

           Desa Penglipuran berasal dari akronim kata pengeling dan pura yang berarti mengingat tempat suci (para leluhur). Awalnya, masyarakat desa ini berasal dari Desa Bayung Gede, Kintamani, yang bermigrasi permanen karena suatu hal ke desa Kubu Bayung, yang kini menjadi desa Penglipuran. Nah, di desa inilah mereka akhirnya menetap dan menjaga kearifan kebudayaan mereka.

          Untuk tata ruang desa, setiap rumah memiliki sebuah pintu gerbang yang disebut Angkul-angkul. Semua rumah di desa ini seragam tapi tak sama. Nyaris mirip. Sementara untuk ukuran, memang sama persis. Nah, desa yang berada di ketinggian 700 mdpl ini tercatat memiliki 985 jiwa dalam 234 keluarga pada catatan sensus awal tahun ini. Mereka tersebar di 76 pekarangan yang terbagi rata di setiap sisinya dari total 112 hektar.

Serba Serbi Retribusi

      Setelah melihat potensi dan prestasi yang dimiliki Desa Penglipuran, Pemerintah Kabupaten Bangli mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Daerah Tingkat II Bangli Nomor 115 Tanggal 29 April 1993 yang menetapkan Desa Adat Penglipuran sebagai daerah kunjungan wisatawan. Pengelolaan desa wisata diserahkan kepada warga Desa Penglipuran dengan pembagian retribusi tiket masuk 60:40, artinya 60 persen untuk pemerintah daerah dan 40 persen untuk desa.

         Jumlah wisatawan yang datang bertambah dari tahun ke tahun sehingga beban juru desa semakin berat. Para tetua adat yang berjumlah 76 orang—disebut pengarep atau pengambil kebijakan dalam adat—menyetujui pembentukan badan pengelola desa wisata. Pada 1 Mei 2012 dibentuk Badan Pengelola Desa Wisata Penglipuran. Anggotanya terdiri dari 23 orang dan bertanggung jawab langsung kepada desa adat.

        Setelah lebih dari dua dekade sejak penetapannya sebagai desa wisata, biaya untuk tetap menjaga kelestarian bangunan tradisional sangat tinggi. Untuk memelihara atap yang terbuat dari ijuk bambu saja membutuhkan Rp 25 juta. Padahal, itu baru satu bangunan. Belum lagi untuk pemeliharaan lingkungan. Semakin banyak wisatawan yang datang, butuh pengelolaan sampah dan air.

        Setiap hari Senin, hasil retribusi yang diperoleh, 100 persen diserahkan kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Kabupaten Bangli. Dinas Budpar mengembalikan 40 persen hak Desa Penglipuran dalam jangka waktu satu hingga tiga bulan setelah disetor. Dari persentase itu sebanyak 20 persen dipakai untuk membayar pengelola, seperti petugas tiket, kebersihan, dan keamanan. Sebanyak 20 persen sisanya masuk ke kas adat. Jika kelak ada upacara besar, seperti Galungan, kebutuhan untuk sarana upacara atau bebantenan diambil dari kas desa sehingga warga Desa Penglipuran tidak perlu lagi mengeluarkan dana.

        Karena Pemerintah Kabupaten Bangli mendominasi pembagian retribusi tiket masuk dan upaya untuk menilik kembali pembagian retribusi yang belum membuahkan hasil, warga desa Penglipuran berusaha mendapatkan penghasilan langsung dari pariwisata melalui penjualan cendera mata, usaha warung makanan dan minuman. Selain itu juga mengadakan kegiatan wisata, yakni Penglipuran Village Festival pada akhir Desember dan Penglipuran Berbunga pada Juli. Menjaga konservasi sebuah desa yang telah berusia tua memang tidak mudah. Agaknya, layak jika desa yang juga kondang di dunia ini mendapat perhatian lebih dari Pemerintah Kabupaten Bangli.

0 comments:

Post a Comment

A call-to-action text Contact us