Desa Penglipuran merupakan salah satu desa adat yang telah
berkembang menjadi desa wisata yang sangat ramai dikunjungi para
wisatawan, lokal maupun mancanegara. Bahkan, pada awal penetapannya
desa ini sebagai desa wisata, turis asing-lah yang sering memadati desa
yang terletak di Bangli ini.
Awalnya,
desa ini hanyalah sebuah desa yang ingin mempertahankan kebudayaan
nenek moyang, leluhur. Tapi pada sekitar tahun 1990, mahasiswa Udayana
melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dengan meninggalkan jejak berupa
pembangunan taman-taman kecil dan penataan lingkungan, yang kemudian
pada tahun 1991/1992 ada beberapa wisatawan yang mengunjungi desa ini.
Sementara, Dinas Pariwisata Daerah belum mengeluarkan kebijakan apapun
atau sumbangsih untuk mengelola kawasan ini. Barulah dari sini sesepuh
dan para pemuda bersama perwakilan dari pemerintah daerah dan kota
bermusyawarah untuk mengembangkan potensi pariwisata yang ada di Desa
Adat Penglipuran. Dan akhirnya pada tahun 1993, desa adat ini
ditetapkan sebagai Desa Wisata Penglipuran dengan Surat Keputusan (SK)
Bupati No.115 tanggal 29 April 1993.
Di awal peresmiannya sebagai desa wisata, Penglipuran mendapatkan
penghargaan Kalpataru. Sebab, masyarakat setempat dianggap mampu
menyelamatkan lingkungan. Mereka mampu mempertahankan dan memelihara 75
hektar hutan bambu dan 10 hektar vegetasi lainnya yang menjadi ciri khas
desanya. Selain itu, masyarakat di desa ini juga mampu mempertahankan
adat budaya para leluhur dan juga tata kota serta bangunan
tradisionalnya. Hal inilah yang membuat Penglipuran diganjar dengan
Kalpataru pada tahun 1995.
Penghargaan terbaru yang disabet berasal dari TripAdvisor berupa The Travellers Choice Destination
2016. Meski sebenarnya penghargaan ini dijatuhkan pada Pulau Dewata
sebagai pulau kedua terbaik setelah Kepulauan Galapagos di Ekuador, nama
Desa Wisata Pengliburan pun kerap diperbincangkan. Hingga akhirnya,
desa ini dinobatkan sebagai desa terbersih di dunia bersama desa Desa
Terapung Giethoorn di Provinsi Overijssel Belanda, dan Desa Mawlynnong
yang ada di India.
Serba Serbi Desa Penglipuran dari Tata Ruang hingga Populasi
Desa Penglipuran berasal dari akronim kata pengeling dan pura
yang berarti mengingat tempat suci (para leluhur). Awalnya, masyarakat
desa ini berasal dari Desa Bayung Gede, Kintamani, yang bermigrasi
permanen karena suatu hal ke desa Kubu Bayung, yang kini menjadi desa
Penglipuran. Nah, di desa inilah mereka akhirnya menetap dan menjaga
kearifan kebudayaan mereka.
Untuk tata ruang desa, setiap rumah
memiliki sebuah pintu gerbang yang disebut Angkul-angkul. Semua rumah di
desa ini seragam tapi tak sama. Nyaris mirip. Sementara untuk ukuran,
memang sama persis. Nah, desa yang berada di ketinggian 700 mdpl ini
tercatat memiliki 985 jiwa dalam 234 keluarga pada catatan sensus awal
tahun ini. Mereka tersebar di 76 pekarangan yang terbagi rata di setiap
sisinya dari total 112 hektar.
Serba Serbi Retribusi
Setelah melihat potensi dan prestasi yang dimiliki Desa Penglipuran,
Pemerintah Kabupaten Bangli mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Daerah
Tingkat II Bangli Nomor 115 Tanggal 29 April 1993 yang menetapkan Desa
Adat Penglipuran sebagai daerah kunjungan wisatawan. Pengelolaan desa
wisata diserahkan kepada warga Desa Penglipuran dengan pembagian
retribusi tiket masuk 60:40, artinya 60 persen untuk pemerintah daerah
dan 40 persen untuk desa.
Jumlah wisatawan yang datang bertambah dari tahun ke tahun sehingga
beban juru desa semakin berat. Para tetua adat yang berjumlah 76
orang—disebut pengarep atau pengambil kebijakan dalam
adat—menyetujui pembentukan badan pengelola desa wisata. Pada 1 Mei 2012
dibentuk Badan Pengelola Desa Wisata Penglipuran. Anggotanya terdiri
dari 23 orang dan bertanggung jawab langsung kepada desa adat.
Setelah lebih dari dua dekade sejak penetapannya sebagai desa wisata,
biaya untuk tetap menjaga kelestarian bangunan tradisional sangat
tinggi. Untuk memelihara atap yang terbuat dari ijuk bambu saja
membutuhkan Rp 25 juta. Padahal, itu baru satu bangunan. Belum lagi
untuk pemeliharaan lingkungan. Semakin banyak wisatawan yang datang,
butuh pengelolaan sampah dan air.
Setiap hari Senin, hasil retribusi yang diperoleh, 100 persen
diserahkan kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Kabupaten
Bangli. Dinas Budpar mengembalikan 40 persen hak Desa Penglipuran dalam
jangka waktu satu hingga tiga bulan setelah disetor. Dari persentase itu
sebanyak 20 persen dipakai untuk membayar pengelola, seperti petugas
tiket, kebersihan, dan keamanan. Sebanyak 20 persen sisanya masuk ke kas
adat. Jika kelak ada upacara besar, seperti Galungan, kebutuhan untuk
sarana upacara atau bebantenan diambil dari kas desa sehingga warga Desa Penglipuran tidak perlu lagi mengeluarkan dana.
Karena Pemerintah Kabupaten Bangli mendominasi pembagian retribusi
tiket masuk dan upaya untuk menilik kembali pembagian retribusi yang
belum membuahkan hasil, warga desa Penglipuran berusaha mendapatkan
penghasilan langsung dari pariwisata melalui penjualan cendera mata,
usaha warung makanan dan minuman. Selain itu juga mengadakan kegiatan
wisata, yakni Penglipuran Village Festival pada akhir Desember dan
Penglipuran Berbunga pada Juli. Menjaga konservasi sebuah desa yang
telah berusia tua memang tidak mudah. Agaknya, layak jika desa yang juga
kondang di dunia ini mendapat perhatian lebih dari Pemerintah Kabupaten
Bangli.
0 comments:
Post a Comment