:::: MENU ::::
  • Gerbang masuk Desa Penglipuran

  • Foto bersama penduduk Desa Penglipuran

  • Wawancara dengan penduduk Desa Penglipuran

Warna Warni Desa Adat Penglipuran Bali

Ada alasan dan ketertarikan tersendiri bagi kelompok kami untuk meneliti mengenai “Desa Adat Penglipuran”, karena disitu kami ingin meninjau ulang hal-hal yang sering kami temukan di internet. Tidak hanya meninjau ulang saja melainkan kami juga ingin banyak mengetahui keunikan-keunikan budaya adat Bali yang sampai saat ini belum luntur seiring perkembangan zaman (Globalisasi). Kesempatan itu kami lakukan pada “Study Budaya 2016 Siswa SMA Negeri 1 Manyar” yang dilakukan pada tanggal 13-17 April 2016 lalu.

Wednesday, July 20, 2016



          Desa Penglipuran merupakan salah satu desa adat yang telah berkembang menjadi desa wisata yang sangat ramai dikunjungi para wisatawan, lokal maupun mancanegara. Bahkan, pada awal penetapannya desa ini sebagai desa wisata, turis asing-lah yang sering memadati desa yang terletak di Bangli ini.

        Awalnya, desa ini hanyalah sebuah desa yang ingin mempertahankan kebudayaan nenek moyang, leluhur. Tapi pada sekitar tahun 1990, mahasiswa Udayana melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dengan meninggalkan jejak berupa pembangunan taman-taman kecil dan penataan lingkungan, yang kemudian pada tahun 1991/1992 ada beberapa wisatawan yang mengunjungi desa ini. Sementara, Dinas Pariwisata Daerah belum mengeluarkan kebijakan apapun atau sumbangsih untuk mengelola kawasan ini. Barulah dari sini sesepuh dan para pemuda bersama perwakilan dari pemerintah daerah dan kota bermusyawarah untuk mengembangkan potensi pariwisata yang ada di Desa Adat Penglipuran. Dan akhirnya pada tahun 1993, desa adat ini ditetapkan sebagai Desa Wisata Penglipuran dengan Surat Keputusan (SK) Bupati No.115 tanggal 29 April 1993.

          Di awal peresmiannya sebagai desa wisata, Penglipuran mendapatkan penghargaan Kalpataru. Sebab, masyarakat setempat dianggap mampu menyelamatkan lingkungan. Mereka mampu mempertahankan dan memelihara 75 hektar hutan bambu dan 10 hektar vegetasi lainnya yang menjadi ciri khas desanya. Selain itu, masyarakat di desa ini juga mampu mempertahankan adat budaya para leluhur dan juga tata kota serta bangunan tradisionalnya. Hal inilah yang membuat Penglipuran diganjar dengan Kalpataru pada tahun 1995.

       Penghargaan terbaru yang disabet berasal dari TripAdvisor berupa The Travellers Choice Destination 2016. Meski sebenarnya penghargaan ini dijatuhkan pada Pulau Dewata sebagai pulau kedua terbaik setelah Kepulauan Galapagos di Ekuador, nama Desa Wisata Pengliburan pun kerap diperbincangkan. Hingga akhirnya, desa ini dinobatkan sebagai desa terbersih di dunia bersama desa Desa Terapung Giethoorn di Provinsi Overijssel Belanda, dan Desa Mawlynnong yang ada di India.


Serba Serbi Desa Penglipuran dari Tata Ruang hingga Populasi

           Desa Penglipuran berasal dari akronim kata pengeling dan pura yang berarti mengingat tempat suci (para leluhur). Awalnya, masyarakat desa ini berasal dari Desa Bayung Gede, Kintamani, yang bermigrasi permanen karena suatu hal ke desa Kubu Bayung, yang kini menjadi desa Penglipuran. Nah, di desa inilah mereka akhirnya menetap dan menjaga kearifan kebudayaan mereka.

          Untuk tata ruang desa, setiap rumah memiliki sebuah pintu gerbang yang disebut Angkul-angkul. Semua rumah di desa ini seragam tapi tak sama. Nyaris mirip. Sementara untuk ukuran, memang sama persis. Nah, desa yang berada di ketinggian 700 mdpl ini tercatat memiliki 985 jiwa dalam 234 keluarga pada catatan sensus awal tahun ini. Mereka tersebar di 76 pekarangan yang terbagi rata di setiap sisinya dari total 112 hektar.

Serba Serbi Retribusi

      Setelah melihat potensi dan prestasi yang dimiliki Desa Penglipuran, Pemerintah Kabupaten Bangli mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Daerah Tingkat II Bangli Nomor 115 Tanggal 29 April 1993 yang menetapkan Desa Adat Penglipuran sebagai daerah kunjungan wisatawan. Pengelolaan desa wisata diserahkan kepada warga Desa Penglipuran dengan pembagian retribusi tiket masuk 60:40, artinya 60 persen untuk pemerintah daerah dan 40 persen untuk desa.

         Jumlah wisatawan yang datang bertambah dari tahun ke tahun sehingga beban juru desa semakin berat. Para tetua adat yang berjumlah 76 orang—disebut pengarep atau pengambil kebijakan dalam adat—menyetujui pembentukan badan pengelola desa wisata. Pada 1 Mei 2012 dibentuk Badan Pengelola Desa Wisata Penglipuran. Anggotanya terdiri dari 23 orang dan bertanggung jawab langsung kepada desa adat.

        Setelah lebih dari dua dekade sejak penetapannya sebagai desa wisata, biaya untuk tetap menjaga kelestarian bangunan tradisional sangat tinggi. Untuk memelihara atap yang terbuat dari ijuk bambu saja membutuhkan Rp 25 juta. Padahal, itu baru satu bangunan. Belum lagi untuk pemeliharaan lingkungan. Semakin banyak wisatawan yang datang, butuh pengelolaan sampah dan air.

        Setiap hari Senin, hasil retribusi yang diperoleh, 100 persen diserahkan kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Kabupaten Bangli. Dinas Budpar mengembalikan 40 persen hak Desa Penglipuran dalam jangka waktu satu hingga tiga bulan setelah disetor. Dari persentase itu sebanyak 20 persen dipakai untuk membayar pengelola, seperti petugas tiket, kebersihan, dan keamanan. Sebanyak 20 persen sisanya masuk ke kas adat. Jika kelak ada upacara besar, seperti Galungan, kebutuhan untuk sarana upacara atau bebantenan diambil dari kas desa sehingga warga Desa Penglipuran tidak perlu lagi mengeluarkan dana.

        Karena Pemerintah Kabupaten Bangli mendominasi pembagian retribusi tiket masuk dan upaya untuk menilik kembali pembagian retribusi yang belum membuahkan hasil, warga desa Penglipuran berusaha mendapatkan penghasilan langsung dari pariwisata melalui penjualan cendera mata, usaha warung makanan dan minuman. Selain itu juga mengadakan kegiatan wisata, yakni Penglipuran Village Festival pada akhir Desember dan Penglipuran Berbunga pada Juli. Menjaga konservasi sebuah desa yang telah berusia tua memang tidak mudah. Agaknya, layak jika desa yang juga kondang di dunia ini mendapat perhatian lebih dari Pemerintah Kabupaten Bangli.

Thursday, July 14, 2016


Keseharian Masyarakat Desa Adat Panglipuran


            Desa ini memiliki hutan bambu yang cukup luas kurang lebih 40% karena aslinya desa adat ini merupakan hutan bambu (Asli bukan karena ditanami). Hutan bambu ini milik desa adat, bukan milik perorangan. Dari hutan bambu inilah menjadi ciri khas dan sebagai mata pencaharian masyarakat desa adat ini. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa (Wanita) di sini banyak yang membuat kerajinan dari bambu, seperti halnya membuat patung, anyaman, gantungan kunci ataupun yang lain sehingga terdapat banyak kelompok anyaman di desa ini. Yang kemudian dijual sebagai souvenir dari Desa Adat Panglipuran ini. Sedangkan orang laki-lakinya berternak Babi, Ayam, Sapi, dsb. 
Kerajinan dan Souvenir
Kelompok Anyaman
Souvenir
            Tidak ada ketentuan ataupun ikatan dalam hal pekerjaan disini, masyarakat disini boleh untuk mencari pekerjaan lain di luar. Tidak sedikit yang bekerja di luar desa adat ini.

Usaha Dalam Mempertahankan Desa Adat

            Dibalik terjaganya budaya dan desa adat yang masih terjaga, disana terdapat usaha masyarakat dalam menjaganya seperti saling mempertahankan Baliage, kerjasama dalam membantu segala hal, menjunjung tingginya kekeluargaan, tidak boleh membangkang segala peraturan yang sudah ada maupun yang dibuat oleh klien adat. Merupakan kekuatan utama dalam mempertahankannya. Alasannya karena mereka ingin terus didatangi oleh para wisatawan.

            Namun, tidak seperti yang kita bayangkan bahwa di desa adat ini masih murni dan tidak tersentuh sedikitpun oleh teknologi. Ternyata di desa adat panglipuran ini sudah tersentuh oleh berbagai teknologi modern, seperti handphone, televisi ataupun yang lainnya. Dan di desa ini juga menyediakan homestay untuk yang berminat menginap di sana. Tanah di desa ini tidak diperjual belikan seperti halnya tanah di daerah-daerah lain.


Kependudukan dan Ekonomi

            Tidak semua orang yang ada di desa ini tercatat sebagai penduduk, ternyata di desa ini terdapat 1000 penduduk. Tapi, yang masuk dalam desa adat hanya ada 76 KK (Kartu Keluarga).

            Jika ada wisatawan yang masuk pastilah mendapat pemasukan untuk desa, pemasukan ini akan masuk ke kas desa. Tapi tidak murni semuanya masuk ke dalam kas melainkan dibagi 60%  untuk Pemda dan 40% di desa adat, nah yang 40% ini juga dibagi lagi ke pemuda dan desa adat sendiri.
            Sedangkan bantuan dari pemerintah itu sendiri masuk ke desa adatnya, tapi kalau ada penghasilan yang lebih dibagi ke masyarakat desa tersebut.





Begitu banyak kebudayaan dan adat yang masih terjaga di desa ini, mulai hal yang sepele hingga hal yang benar-benar serius.
  1. Alasan mengapa rumah masyarakat desa ini dibuat sama semuanya, itu karena sudah ditentukan sejak dahulu kala. Tidak hanya bangunan luarnya saja yang sama, melainkan ketentuan ada apa saja yang wajib ada di dalam rumah tersebut, Seperti: 

  •       Pura Keluarga untuk sembahyang.
  •       Dapur Bali (Depan) sebagai ruang utama untuk menaruh sesaji.
  •       Bale Dangin digunakan jika ada yang meninggal (Upacara Ngaben).
  •      Pintu yang menghubungkan antara 1 rumah dengan yang lainnya, jika pintu ini di tutup berarti menandakan orang tersebut memutuskan tali persaudaraan.


        Itu semua digunakan untuk upacara pernikahan dan ngaben. Dalam adat desa ini apabila ada orang yang meninggal tidak boleh sampai menginap di rumah, sehingga harus segera di kuburkan. Dan bentuk kuburannya harus rata tidak boleh ada gundukan atau disebut sebagai “Biotanem”.
    
    2.  Apabila ada masyarakat desa ini yang melanggar aturan atau adat yang berlaku maka akan mendapat sanksi besar berupa membuat sesajen di semua pura sebagai penebusnya. Sedangkan jika ada kaum laki-laki yang poligami maka akan dikucilkan.
   
    3.  Jika masyarakatnya menikah maka biasanya yang laki-laki diajak orang tua sedangkan yang perempuan sudah dilepas oleh keluarganya. Sedangkan jika berbeda agama dan akhirnya pindah agama maka biasanya mengikuti yang laki-laki (Patokan Suami) karena tidak ditentukan. Apabila ada warga yang terpaksa tidak memiliki rumah maka akan diberi oleh desa (Tidak ada ketentuan).

    4.  Bahasa yang digunakan sudah mulai ada perpaduan dengan Bahasa Indonesia, namun bagi orang yang sudah tua masih menggunakan bahasa adat murni bali.

  5. Waktu untuk sembahyangnya yaitu setiap hari pokoknya tidak melebihi jam 12 malam. Sedangkan setiap 15 hari sekali melakukan sembahyang bersama ke pura desa.

    6. Cara untuk memilih pemimpinnya yaitu dengan cara dipilih oleh klien adat. Kini yang sebagai klien adat adalah Wayan Supart.


    7.  Di Desa ini memiliki makanan dan makanan khas yaitu :  Ikan Mujair, Sayur Pakis, dan Cem-ceman sebagai minumannya.

   8.  Sedangkan ketika ada tamu (Yang sebelumnya sudah mengonfirmasi kedatangannya) akan ada tampilan tarian, seperti : Tarian Calon Arang, Janger dan Baris Sakral

Tari Janger
Tari Calon Arang
Tari Baris Sakral
   9.  Terdapat Pura Desa, Balai Desa yang terdapat kentongan sebagai alat untuk memberitahukan warga, Hutan Bambu, dsb.
Pura

Balai Desa

Hutan Bambu

    10.  Kebudayaan yang saling tolong menolong sangat erat bagi masyarakat desa ini seperti halnya ketika ada acara upacara yang biasa disebut “Ngoyoh” (Gotong royong) untuk membuat sesaji.

    11.  Memotong sapi hanya ketika ada acara adat, karena sapi dianggap sebagai hewan yang berharga. Sedangkan ketika upacara-upacara biasa hanya memotong babi.

Wednesday, July 13, 2016


Desa adat Penglipuran terletak di Kelurahan Kubu di Kecamatan Bangli, Kabupaten Dati II Bangli. Luas desa adat Penglipuran kurang lebih 112 ha, dengan batas wilayah desa adat Kubu di sebelah timur, di sebelah selatan desa adat Gunaksa, dan di sebelah Barat Tukad Sang-sang, sedangkan di sebelah utara desa adat Kayang.Desa Adat Penglipuran terletak di kaki Gunung Batur pada ketinggian 700 meter dpl. Desa Adat Penglipuran terletak pada jalur wisata Kintamani, sejauh 5 Km dari pusat kota Bangli, dan 45 Km dari pusat kota Denpasar. 



        Awal mula keberadaan Desa Penglipuran sudah ada sejak dahulu, konon pada zaman Kerajaan Bangli. Para leluhur penduduk desa ini datang dari Desa Bayung Gede dan menetap sampai sekarang, sementara nama “Penglipuran” sendiri mempunyai makna sebagai Penghibur/Penglipur hati raja yang pada saat itu raja sedih karena tidak ada orang yang dapat dipercaya dan beliau mencari orang yang jujur, yang pada akhirnya beliau temukan ketika sedang merenung sambil mengamati penduduk desa yang kini bernama penglipuran ini. 

        Namun, dari sudut pandang sejarah dan menurut para sesepuh, kata Penglipuran berasal dari kata “Pengeling Pura” yang berarti tempat suci mengenang para leluhur. Tempat ini sangat berarti sejak leluhur mereka datang dari desa Bayung Gede ke Penglipuran yang jaraknya cukup jauh, oleh karena itu masyarakat Penglipuran mendirikan pura yang sama sebagaimana yang ada di desa Bayung Gede. Dalam hal ini berarti masyarakat Penglipuran masih mengenal asal usul mereka. Pendapat lain mengatakan bahwa Penglipuran berasal dari kata “Penglipur” yang berarti “penghibur” karena pada jaman kerajaan tempat ini dijadikan tempat peristirahatan.

        Penglipuran memiliki dua pengertian, yaitu pangeling yang kata dasarnya “eling” atau mengingat. Sementara pura artinya tanah leluhur. Jadi, penglipuran artinya mengingat tanah leluhur. Kata itu juga bisa berarti “penghibur” yang berkonteks makna memberikan petunjuk bahwa ada hubungan sangat erat antara tugas dan tanggung jawab masyarakat dalam menjalankan dharma agama.

        Masyarakat desa adat penglipuran percaya bahwa leluhur mereka berasal dari Desa Bayung Gede, Kintamani.Sebelumnya desa Panglipuran bernama Kubu Bayung. Pada jaman dahulu raja bali memerintahkan pada warga-warga di Bayung Gede untuk mengerjakan proyek di Kubu Bayung, tapi akhirnya para warga tersebut memutuskan untuk menetap di desa Kubu Bayung. Dilihat dari segi tradisi, desa adat ini menggunakan sistem pemerintahan hulu apad. Pemerintahan desa adatnya terdiri dari prajuru hulu apad dan prajuru adat. Prajuru hulu apad terdiri dari jero kubayan, jero kubahu, jero singgukan, jero cacar, jero balung dan jero pati. Prajuru hulu apad otomatis dijabat oleh mereka yang paling senior dilihat dari usia perkawinan tetapi yang belum ngelad. Ngelad atau pensiun terjadi bila semua anak sudah menikah atau salah seorang cucunya telah kawin. Mereka yang baru menikah duduk pada posisi yang paling bawah dalam tangga keanggotaan desa adat. 


        Yang membedakan desa adat penglipuran dengan yang lain yaitu tidak adanya kasta, karena kasta yang ada di desa ini hanya Kasta Sudra.


A call-to-action text Contact us